Masyarakat
Tegallinggah sebagian besar berkebun kapuk yang dimanfaatkan untuk membuat
kasur dan bantal. Proses pembuatan kasur pun sungguh rumit. Seperti, terlebih
dahulu mengupas kapuk, setelah itu batu yang ada dalam kapuk dihilangkan
sehingga kapuk tersebut bersih tidak ada kotoran. Langkah selanjutnya menyiapkan
kain, lalu menjahitnya sebagai dasar pembentukan, serta menghubungkan kain yang
satu dengan kain yang lainnya agar kelihatan besar dan bagus. Kemudian, kain
tersebut digender agar kelihatan berbentuk seperti kasur. Setelah itu, kain
tersebut diisi dengan kapuk, setelah kain tersebut diisi dengan kapuk, maka
langkah selanjutnya, pinggir sudut kasur tersebut dijahit agar kelihatan bagus
dan rapi.
Upah
pembuatan kasur pun tidak seberapa. Namun masyarakat Tegallinggah dengan
semangat bekerja membuat kasur. Adapun salah satu masyarakat Tegallinggah yang
bernama Dila Mar Diana yang telah berkeluarga dan memiliki 3 orang anak
mengatakan bahwa upah ngender yang ia terima untuk satu kain yang panjangnya
190 cm dengan lebar 120 cm yaitu Rp 3000 dan ia dalam sehari cuman bisa
menjahit 3 atau 4 kain. Yang ia rasakan capek luar biasa, namun dengan melihat
anak-anaknya semangat yang ia miliki tumbuh kembali agar mendapatkan
pemasukkan, dan terus menerus bekerja tanpa mengenal lelah dan putus asa demi
menghidupi keluarganya. Selanjutnya ada salah seorang warga masyarakat
Tegallinggah yang benama Muhammad Rusly bekerja sebagai pengangkut kapuk, dalam
satu karung yang diangkutnya, upah yang ia terima hanya Rp15.000, serta untuk
mengupas kapuk dan menghilangkan batu-batunya agar kelihatan bersih, upah yang
ia terima dalam satu karung hanya Rp 4000. Sungguh prihatin serta salut melihat
masyarakat Tegallinggah begitu giat dan gigihnya bekerja.
Kemudian,
ada salah satu masyarakat Tegallinggah yang bernama Taufik Kurrahim dengan
berdagang kasur ia bisa menghidupi kelurganya. Taufik Kurrahim berjualan kasur
ke daerah-daerah yang penduduknya ramai seperti Banjar, Singaraja, dan bahkan
pernah sampai Kintamani. Ia mengatakan “berjualan kasur merupakan tantangan
yang berat”, karena jika tidak berpengalaman dalam berjualan kasur kita pasti
tidak mendapatkan untung yang banyak. Di samping itu dia pernah merasa ngeluh
karena kasur yang ia jual tidak laku satu pun. Namun, ia teringat akan anak dan
istrinya di rumah. Dengan mengingat anak dan istrinya, semangat yang ia miliki
tumbuh kembali dan melanjutkan perjalanan untuk menjual kasur ke daerah-daerah
tertentu seperti Kintamani, Banjar, dan Singaraja. Bapak Taufik berjualan kasur
dengan mengendarai sepeda motor supra fit, dan ia membawa tiga buah kasur dan
lima buah bantal diantaranya bantal guling dua dan bantal biasa tiga buah. Selanjutnya,
ia mengatakan ketika musim kapuk banyak sekali penghasilan yang ia dapatkan
sekitar Rp 200.000 perhari untung yang ia dapatkan. Apalagi saat musim cengkeh
di daerah Kintamani. ia sangat senang dan semangat berjualan kasur, karena
kasur dan bantal-bantal yang akan dijualnya, habis laku terjual dengan jangka
waktu yang pendek, misalnya dia berangkat jualan kasur sekitar pukul 08.00 dan
pulangnya sekitar pukul 12.00. Tetapi, apabila tidak musim kapuk dan cengkeh
penghasilan yang ia terima sedikit atau kurang mencukupi.
itulah kehidupan masyarakat
Tegallinggah yang memanfaatkan kapuk sebagai pembuatan kasur agar bisa dijual
dan mendapatkan penghasilan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar